Selasa, 19 Maret 2013

kitab & ahlul bait

Rasulullah SAW bersabda” Kurasa seakan-akan aku segera akan dipanggil (Allah), dan segera pula memenuhi panggilan itu, Maka sesungguhnya aku meninggalkan padamu ats Tsaqalain. yang satu lebih besar (lebih agung) dari yang kedua : Yaitu kitab Allah dan Ittrahku. Jagalah Baik-baik kedua peninggalanku itu, sebab keduanya takkan berpisah sehingga berkumpul kembali denganku di al Haudh. Kemudian beliau berkata lagi: “Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla adalah maulaku, dan aku adalah maula setiap Mu’min. Lalu beliau mengangkat tangan Ali Bin Abi Thalib sambil bersabda : Barangsiapa yang menganggap aku sebagai maulanya, maka dia ini (Ali bin Abu Thalib) adalah juga maula baginya. Ya Allah, cintailah siapa yang mencintainya, dan musuhilah siapa yang memusuhinya..

Hadis riwayat Al Hakim dalam kitab Mustadrak As Shahihain, Juz III hal 109 . Menurut Al Hakim dalam kitab Al Mustadrak Hadis ini Shahih berdasarkan persyaratan Bukhari dan Muslim , pernyataan ini dibenarkan Adz Dzahabi dalam Talkhis Al Mustadrak.

Senin, 18 Maret 2013

ALI AKBAR BIN HUSEIN BIN ALI BIN ABI THALIB AS.

ALI AKBAR BIN HUSEIN BIN ALI BIN ABI THALIB AS.

UNTUK SEORANG PEMUDA BERIMAN PEMBERANI PEMBAWA CAHAYA DAN PEJUANG ISLAM ALI AKBARBIN HUSEIN BIN ALI AS.
PARA MALAIKAT MASUK MENGUNJUNGI MEREKA DARI SEMUA PINTU SERAYA MENGUCAPKAN:
''SALAMUN ALAIKUM BIMA SHABARTUM SALAM ATAS KESABARAN KALIAN. ALANGKAH BAGUSNYA TEMPAT KESUDAHAN ITU''
( QS 13:23-24 ).

ALI AKBAR AS ADALAH PUTRA IMAM HUSEIN BIN ALI AS.
NAMA IBUNYA ADALAH LAILA BINTI ABU MURAH BIN URWAH.
DIA MEMPUNYAI BADAN YANG LEBIH BESAR DI BANDINGKAN KAKAKNYA ALI ZAINAL ABIDIN BIN HUSEIN AS.
OLEH KARENA ITU DIA DI GELARI ALI AKBAR ( ALI YANG BERBADAN BESAR ).

ALI AKBAR AS DI BESARKAN OLEH SEORANG AYAH YANG MENJADI CUCU KESAYANGAAN RASULULLAH SAWW DAN SEORANG IBU YANG BERAKHLAK MULIA.
DIA MENEGUK KEIMANAN DAN MENYERAP ILMU DAN MA'RIFAT DARI AYAHANDANYA.
MAKA TUMBUHLAH ALI AKBAR AS MENJADI SEORANG PEMUDA SHALEH PEMBERANI CINTA PERJUANGAN DAN BERANI BERKORBAN.
TIDAK SEDIKIT PUN KELEMAHAN TERPANCAR DARI JIWANYA.
DIA SEORANG PEMUDA YANG TANGKAS MENGENDARAI KUDA.
PARA AHLI SEJARAH MENGANGGAPNYA SEBAGAI PEMUDA BANI HASYIM YANG MAHIR MENGENDARAI KUDA.
SEJAK KECIL SUDAH TAMPAK KEISTIMEWAAN YANG DI MILIKI ALI AKBAR AS YAITU SANGAT CERMAT DAN BERPANDANGAN LUAS.
SIFAT-SIFAT INILAH YANG SANGAT DI KENAL MUSUH-MUSUHNYA.
APA BILA PARA PEJUANG KARBALA KITA BERBARIS MAKA AKAN KITA DAPATI ALI AKBAR AS BERADA DI SHAFF ( BARIS ) TERDEPAN.
BEGITU PULA DALAM KECERDIKAN KEBERANIAN DAN PERJUANGANNYA DIA SELALU TAMPIL TERDEPAN.
KESETIAAN DAN PERJUANGANNYA ALI AKBAR AS DI DAMPINGI AYAHANDA DAN SAUDARANYA BESERTA PASUKAN YANG MENYERTAINYA BERGERAK MENUJU MEDAN PERTEMPURAN.
MEREKA MENYADARI BAHWA BERBAGAI RINTANGAN SUDAH SIAP MENGHADANG.
NAMUN TANPA GENTAR SEDIKIT PUN MEREKA TERUS BERGERAK SAMBIL MENGIBARKAN PANJI-PANJI PERLAWANAN KAUM TERTINDAS.

ALI AKBAR AS BERJUANG BAHU-MEMBAHU BERSAMA MEREKA UNTUK MENEGAKKAN KEBENARAN.
JUMLAH MUSUH YANG BEGITU BANYAK TIDAK MEMBUATNYA
GENTAR.
ITULAH SIFAT DAN AKHLAKNYA YANG MEMANG SESUAI DENGAN KEDUDUKANNYA.
BAGAIMANA TIDAK ALI AKBAR AS ADALAH PUTRA IMAM HUSEIN AS PEMUKA PARA SYUHADA PUTRA SUCI NUBUWAH DAN CUCU KESAYANGAN RASULULLAH SAWW.
DI TENGAH PERJALANAN IMAM HUSEIN AS MENDAPAT
BERITA TENTANG SYAHIDNYA MUSLIM BIN AQIL DAN HANIBIN URWAH.
BELIAU MEMAHAMI BAHWA PENDUDUK KUFAH TELAH MENGINGKARI JANJI SETIANYA.
DIA LALU MENYAMPAIKAN BERITA INI KEPADA PARA PENGIKUTNYA.
SETELAH TAHU APA YANG TELAH TERJADI SEBAGIAN PENGIKUTNYA YANG MEMPUNYAI IMAN DAN JIWA YANG LEMAH SERTA MERTA BERLARIAN MENINGGALKAN IMAM HUSEIN AS.
HANYA SEBAGIAN KECIL SAHABATNYA YANG MASIH SETIA MENYERTAI.
KEJADIAN INI DI SAKSIKAN SENDIRI OLEH ALI AKBAR AS.

SUNGGUH KECEWA HATINYA MELIHAT ORANG-ORANG YANG MENYIA-NYIAKAN KESEMPATAN EMAS UNTUK MERAIH SYAHADAH INI.
NAMUN HAL ITU TIDAK MELEMAHKAN JIWANYA SEDIKIT PUN.
KETEGARANNYABERTAMBAH KETIKA MELIHAT KEIMANAN DAN KESABARAN YANG DI MILIKI OLEH SAUDARA-SAUDARANYA YANG DENGAN TULUS MENYERTAI PERJUANGAN AYAHNYA.
PENDAMPING AYAHNYA KAFILAH IMAM HUSEIN AS MENERUSKAN
PERJALANANNYA HINGGA SAMPAI DI SUATU TEMPAT BERNAMA DZU HASMIN.

DI SANA TENTARA IBNU ZIYAD YANG DI PIMPIN OLEH AL-HURR BIN YAZID AR-RIYAHI SIAP MENYONGSONG KEDATANGAN MEREKA.
MENGHADAPI SITUASI SEPERTI INI DENGAN GAGAHNYA ALI AKBAR AS BERDIRI DI ANTARA AYAHNYA DAN PASUKAN AL-HURR.
DIA MELAYANGKAN PANDANGANNYA KE ARAH PASUKAN MUSUH YANG MENGHADANGNYA.
DENGAN RUH KAKEKNYA IMAM ALI AS DIA SIAP MENGHADAPI MUSUH DAN MENYONGSONG SYAHADAH.
DI BAWAH KOMANDO AYAHNYA ALI AKBAR AS MENGGERAKKAN PARA PEJUANGKARBALA.

ALLAH SWT BERFIRMAN:
''SESUNGGUHNYA MEREKA ADALAH PARA PEMUDA YANG BERIMAN KEPADA TUHANNYA MAKA KAMI MENAMBAH PETUNJUK KEPADA
MEREKA''
( QS AL-KAHFI 13 ).

AWAL PERTEMPURAN CAHAYA FAJAR HARI ASYURA MENYINARI PARA PEJUANG ISLAM YANG SUDAH SIAP TEMPUR MELAWAN PASUKANUMAWIYAH.
MOTIF PERJUANGAN MEREKA HANYA 1 YAITU BERJUANG DI JALAN ALLAH.
MEREKA SIAP MENGHADAPI PASUKAN MUSUH YANG DI PIMPI UMAR BIN SA'D.
DARAH-DARAH MEREKA SIAP DI CURAHKAN UNTUK MEMBELA KEBENARAN.
PERTEMPURAN HEBAT SUDAH DI MULAI.
PARA SAHABAT IMAM HUSEIN AS MULAI BERGUGURAN.
DALAM KEADAAN SEPERTI INI DENGAN SABAR IMAM HUSEIN AS
MENYERU MUSUH-MUSUHNYA AGAR KEMBALI KEPADA KEBENARAN DAN KEADILAN.
DADANYA TERBAKAR OLEH API KECEWA ATAS ULAH MEREKA.
SESUNGGUHNYA IMAM HUSEIN AS TIDAK MEMBERONTAK ATAS KEPEMIMPINAN YAZID.
NAMUN MELIHAT KEBRUTALAN YANG DI LAKUKAN YAZID IMAM HUSEIN AS INGIN MELINDUNGI DAN MEMBELA ORANG-ORANG
TERTINDAS.
IMAM HUSEIN AS INGIN MENOLONG AGAMA ALLAH YANG DI INJAK-INJAK YAZID.
DIA TIDAK TAKUT DAN TIDAK AKAN TUNDUK KECUALI KEPADA ALLAH SWT.
DALAM KECAMUK PERTEMPURAN IMAM HUSEIN AS TIDAK HENTI-HENTINYA MEMBERI PERINGATAN DAN AJAKAN KEPADA MUSUH-MUSUHNYA AGAR KEMBALI KEPADA KEBENARAAN.
NAMUN KARENA KEHIDUPAN MEREKA SUDAH DI LIPUTI CINTA DUNIA DAN KEJUMUDAN SEHINGGA SEDIKIT PUN MEREKA TIDAK TERDORONG UNTUK TAAT KEPADA ALLAH DAN BERAMAL UNTUK MERAIH RIDHA-NYA.

KETEGUHANNYA DI MEDAN PERTEMPURAN KETIKA PASUKAN IBNU ZIYAD MENGEPUNG DAN MENYERANG PARA PENGIKUT IMAM HUSEIN AS ALI AKBAR AS YANG PERTAMA KALI MENYAMBUT SERANGAN MEREKA.

JUMLAH MUSUH YANG BEGITU BANYAK DENGAN PERSENJATAANNYA YANG LENGKAP TIDAK SEDIKIT PUN MENGGETARKAN NYALI ALI AKBAR AS.

SETELAH PERTEMPURAN YANG SANGAT HEBAT ITU BERLALU BEBERAPA SAAT BESAR PARA PEMBELA IMAM HUSEIN AS BERGUGURAN.
JASAD-JASAD MEREKA SEAKAN-AKAN DI PELUK MESRA OLEH TANAH KARBALA YANG SUDAH BASAH TERSIRAM DARAH-DARAH SUCI MEREKA.

PADA SAAT ITU DI SEKELILING IMAM HUSEIN AS YANG TERSISA HANYA TINGGAL ANGGOTA KELUARGANYA SAJA.

PADA MALAM ASYURA PARA PEMUDA BANI HASYIM BERTEKAD MEMPERTARUHKAN JIWA MEREKA SAMPAI TITIK DARAH PENGHABISAN.

MEREKA TIDAK RELA MELIHAT PUTRA IMAM HUSEIN AS DI BANTAI DI HADAPAN MATA KEPALA MEREKA SENDIRI.
KEESOKAN HARINYA PADA TANGGAL 10 MUHARRAM MEREKA TERJUN KE MEDAN PERTEMPURAN HINGGA 1 PER 1 BERGUGURAN.

SEMANGAT DAN KEBERANIAN DALAM KALBU MEREKA UNTUK TETAP MENEGAKKAN KEBENARAN DAN KERINDUAN MERAIH SYAHADAH TELAH MENGGERAKKAN MEREKA UNTUK MAJU TERUS PANTANG MUNDUR.

ALI AKBAR AS DENGAN PENUH HORMAT MEMINTA IZIN KEPADA AYAHNYA UNTUK IKUT TERJUN KE MEDAN PERTEMPURAN.
DENGAN PENUH HARU DAN DERAI AIR MATA IMAM HUSEIN AS MENGIZINKAN PUTRANYA IKUT BERTEMPUR.

IMAM HUSEIN AS MEMPERHATIKAN PUTRANYA LALU MENENGADAH KE LANGIT SERAYA BERUJAR LIRIH:
''YA ALLAH SAKSIKANLAH ORANG-ORANG INI.
DI ANTARA MEREKA ADA SEORANG PEMUDA YANG PERAWAKANNYA PERILAKU DAN CARA BICARANYA PALING MENYERUPAI RASULULLAH SAWW.
APA BILA KAMI MERASA SANGAT RINDU KEPADA NABI- MU MAKA KAMI PANDANGI WAJAHNYA.
YA ALLAH JANGAN ENGKAU BERIKAN KEBERKAHAN ATAS BUMI INI KEPADA MUSUH-MUSUHNYA.
CERAI BERAIKAN MEREKA.
KOYAKKAN DADA-DADA MEREKA.
JANGAN ENGKAU RIDHAI KEKUASAAN MEREKA SELAMA-LAMANYA.
KAMI TELAH MENYERU DAN MENGAJAK MEREKA KEPADA KEBENARAN NAMUN MEREKA MALAH MEMUSUHI DAN MEMERANGI KAMI''

DI HADAPAN MUSUH-MUSUHNYA ALI AKBAR AS MENGUMANDANGKAN SEBAIT SYAIR:
''AKU ALI BIN HUSEIN BIN ALI KAMI AHLUL BAIT YANG DI MULIAKAN NABI SAWW.
AKAN KUTIKAM KALIAN DENGAN LEMBINGKU INI HINGGA KALIAN TERKAPAR MATI.
AKAN KUTEBAS KALIAN DENGAN PEDANGKU INI UNTUK MELINDUNGI AYAHKU ( HUSEIN BIN ALI AS ) DENGAN 1 TEBASAN PEMUDA HASYIM.
DEMI ALLAH DI ATUR OLEH YAZID DAN ZIYAD AKU TAK SUDI''

PERTEMPURAN YANG BEGITU HEBAT TELAH MEMBUAT
JUMLAH PEJUANG YANG GUGUR MAKIN BERTAMBAH.

ALI AKBAR AS YANG BADANNYA SUDAH PENUH LUKA KEMBALI MENGHADAP AYAHNYA SAMBIL BERKATA:
''AYAH RASA HAUS TELAH MEMBUATKU LELAH.
BERAT PEDANG INI TELAH MENGURAS TENAGAKU.
ADAKAH AIR YANG BISA KUTEGUK?''

IMAM HUSEIN AS MENANGIS MELIHAT PENDERITAAN PUTRANYA LALU DIA BERKATA:
''WAHAI ANAKKU KEMBALILAH KE MEDAN PERTEMPURAN.
AKU BERHARAP SEBELUM MASUK SORE HARI KAKEKMU ( RASULULLAH SAWW ) AKAN MEMBERIMU MINUM DARI GELAS YANG BENING YANG TIDAK AKAN MEMBUATMU HAUS UNTUK SELAMA-LAMANYA''

KALIMAT-KALIMAT LEMBUT YANG MELUNCUR DARI AYAHNYA MEMBUAT HATI ALI AKBAR AS BAGAIKAN DI SIRAMI TETESAN AIR YANG MENYEJUKKAN.
DIA PUN KEMBALI KE MEDAN PERTEMPURAN DENGAN GAGAHNYA.

ORANG-ORANG KUFAH YANG HENDAK MEMBUNUHNYA MERASA TAKUT BERHADAPAN DENGAN ALI AKBAR AS KARENA ALI AKBAR AS SANGAT MENYERUPAI RASULULLAH SAWW.

IBNU SA'D MEMERINTAHKAN ANAK BUAHNYA MENGEPUNG ALI AKBAR AS SETELAH DIA SENDIRI MERASA TIDAK MAMPU MENAKLUKANNYA.

MUNQIDZ BIN MURRAH DARI KABILAH ABDUL QAIS SECARA TIBA-TIBA MEMBOKONG ALI AKBAR AS DENGAN MENEBAS PUNGGUNGNYA.

ALI AKBAR AS TAMPAK TERKULAI DI ATAS LEHER KUDANYA.
MELIHAT HAL ITU MUSUH-MUSUHNYA YANG TADI MENGEPUNGNYA SERTA MERTA MENGIBAS-IBASKAN PEDANG-PEDANG MEREKA KE ARAH ALI AKBAR AS.
KETIKA AKAN MENINGGALKAN JASADNYA ALI AKBAR AS BERTERIAK KEGIRANGAN:
''WAHAI AYAH KAKEK ( RASULULLAH SAWW ) MEMBERIKU MINUM DARI GELASNYA YANG BENING.
KAKEK MEMBERIKU MINUMAN YANG TIDAK AKAN MEMBUATKU HAUS SELAMANYA.
KAKEK BERKATA KEPADAKU:
''SEGERALAH- SEGERALAH''

SAAT-SAAT TERAKHIR DENGAN GARANGNYA IMAM HUSEIN AS MENCERAI-BERAIKAN PASUKAN MUSUH YANG SEDANG MENGOYAK-NGOYAK JASAD PUTRANYA.
DI ANGKATLAH KEPALA PUTRANYA ITU KEMUDIAN DI LETAKKAN DI PANGKUANNYA.

DARAH DAN TANAH YANG MELUMURI WAJAHNYA BELIAU AS
BERSIHKAN DENGAN LEMBUT.
SAMBIL MENANGIS IMAM HUSEIN AS BERTERIAK:
''SEMOGA ALLAH MEMBINASAKAN ORANG-ORANG YANG TELAH MEMBUNUHMU.
BETAPA DURHAKANYA MEREKA KEPADA ALLAH DAN RASUL-NYA''

LALU BELIAU AS BERKATA LAGI:
''TIDAK ADA ARTINYA DUNIA INI SETELAH KEPERGIANMU NAK''

IMAM HUSEIN AS MEMERINTAHKAN PARA PEMUDA BANI HASYIM UNTUK MEMBAWA JASAD PUTRANYA KE DALAM KEMAH.
MELIHAT KEPONAKANNYA TERBUNUH ZAINAB AL-KUBRA AS KELUAR DARI KEMAHNYA SAMBIL BERTERIAK-TERIAK MENGUTUK PARA PEMBUNUHNYA.
LALU MERATAPI KEPERGIAN ALI AKBAR AS SAMBIL BERKATA SENDU:
''DUHAI KEKASIHKU.
DUHAI MATA HATIKU.
DUHAI CAHAYA MATAKU.
DUHAI ANAK SAUDARAKU''

KEMUDIAN DIA MENJATUHKAN BADANNYA DI ATAS
JASAD SUCI ALI AKBAR AS SEHINGGA AIR MATANYA MEMBASAHI WAJAH KEPONAKANNYA.
IMAM HUSEIN AS KEMUDIAN MENGHENTIKAN TANGISANNYA DAN MENGEMBALIKAN ZAINAB AL-KUBRA AS KE KEMAHNYA.

PELAJARAN YANG DI SAMPAIKAN ALI AKBAR AS PARA SYUHADA KARBALA YANG GUGUR DALAM PERJUANGAN TERNYATA TELAH MEMBERIKAN PELAJARAN YANG TERAMAT PENTING BAGI MANUSIA TENTANG HAKIKAT KEHIDUPAN INI.
BAGAIMANA MENGUTAMAKAN ORANG LAIN DAN MEMBELA KEBENARAN.
SALAH 1 DARI MEREKA ADALAH ALI AKBAR AS.
DIA MEMBAWA CAHAYA HIDAYAH UNTUK MENERANGI JIWA-JIWA MANUSIA DENGAN SYAHADAH DAN DARAHNYA BAGI KEBANGKITAN ISLAM DI KARBALA.
DIA PUN TELAH MERAIH RIDHA ILAHI DENGAN MEMENUHI SERUAN AL-QUR'AN AGAR MENJUAL DIRINYA KEPADA ALLAH DAN MENEMPUH JALAN PARA SYUHADA PENDAHULUNYA.

DIA MEMILIH SYAHID DI JALAN ALLAH DALAM MEMERANGI MANUSIA¬MANUSIA DURHAKA.
ALI AKBAR AS MEMBERI PELAJARAN KEPADA KITA DENGAN PERISTIWA KARBALA INI TENTANG KEBENARAN KEADILAN DAN KESUCIAN.
KITA PUN MENDAPAT PELAJARAN DARI PARA PEJUANG KARBALA TENTANG KEPERWIRAAN DAN KEJAHATAN.
MAKA SUDAH SEPANTASNYA KITA MEMELIHARA APA-APA YANG SUDAH MEREKA PERSEMBAHKAN MELALUI CURAHAN DARAHNYA.

SEMOGA KESEJAHTERAAN DAN KESELAMATAN DI CURAHKAN KEPADA MEREKA.
REVOLUSI TERBESAR DALAM SEJARAH UMMAT MANUSIA SUDAH SEPANTASNYA BAGI KAUM MUSLIM DAN MUKMIN MENYADARI BAHWA DARAH IMAM HUSEIN AS PUTRA-PUTRANYA DAN DARAH PARA PEMBELANYA YANG TERCURAH DI BUMI KARBALA PADA HARI ASYURA AKAN TERUS BERGEJOLAK MENERANGI JIWA-JIWA MANUSIA SEPANJANG ZAMAN.
KETIKA ALAM TELAH DI SELIMUTI MALAM YANG PEKAT DAN KETIKA AWAN TEBAL MENGHALANGI JALANNYA CAHAYA MAKA PADA SAAT SEPERTI INILAH KITA HARUS MENEMPUH JALAN YANG TELAH DI RINTIS IMAM HUSEIN AS BERSAMA PARA PUTRA DAN PEMBELANYA.

SESUNGGUHNYA API REVOLUSI DAN DARAH SUCI PARA SYUHADA AKAN MENYINARI KEGELAPAN MENYINGKAPI BERBAGAI PENGHALANG SEHINGGA KEBENARAN DAN KEADILAN TAMPAK.

SUNGGUH REVOLUSI KARBALA AKAN BERDIRI TEGAK MENGHALAU PARA PENINDAS DAN PARA PENGUASA.

SESUNGGUHNYA GERAKAN PARA PEJUANG KARBALA DAN KESYAHIDAN MEREKA TELAH MENGANGKAT DI DUNIA ISLAM MENCAPAI KEMULIAAN SEHINGGA TERKETUKLAH TELINGA-TELINGA KEMANUSIAAN.

SERUAN MEREKA DI KARBALA ADALAH SERUAN BERJUTA-JUTA ORANG YANG TERTINDAS DAN YANG DI RAMPAS HAKNYA.
SERUAN AGAR PERBUATAN ANIAYA YANG MENGHISAP DARAH MANUSIA SEGERA DI HENTIKAN.
SERUAN YANG MENYONGSONG KEMENANGAN UNTUK MEMBELA ISLAM.
MEREKA TELAH MEMILIH JALAN INI UNTUK MELAWAN PARA PENINDAS DEMI TEGAKNYA KEBENARAN DAN KEIMANAN.

CAHAYA REVOLUSI KARBALA AKA TETAP BERSINAR SELAMA-LAMANYA.
APINYA AKAN TETAP MENYALA DI HATI ORANG-ORANG YANG JIWANYA MERDEKA BAIK LAKI-LAKI ATAU PUN WANITA.

SESUNGGUHNYA NYALA API KARBALA ADALAH NYALA API BERUPA CAHAYA YANG AKAN MEMBAKAR SYETAN-SYETAN BERSAMA PARA PENGIKUTNYA.

ITULAH CAHAYA HARAPAN DAN KEBAHAGIAAN UNTUK MELEPASKAN DAN MEMERDEKAKAN MANUSIA DARI BELENGGU
PERBUDAKAN.

IMAM MUSA SHADR SILSILAH RAWWAAD AL-FIDAA ADISI TERJEMAHAN : SYUHADA PADANG KARBALA DI TERBITKAN MIZAN SAHABAT REMAJA MUSLIM CET I 1996.
 — 

Minggu, 17 Maret 2013

Ini dia Alasan Mengapa Ali membaiat Para Khalifah?

Ini dia Alasan Mengapa Ali membaiat Para Khalifah?

Tatkala Imam Ali As mengetahui bahwa Allah Swt telah mengangkatnya sebagai khalifah lalu mengapa ia memberikan baiat kepada Abu Bakar, Umar dan Usman? Apabila Anda katakan bahwa ia tidak memiliki kekuasaan dan kemampuan, sementara kita tahu bahwa barangsiapa yang tidak memiliki kekuasaan dan kemampuan maka sesungguhnya ia tidak memiliki kelayakan untuk menjadi imam, karena seseorang dapat menjadi imam tatkala ia memiliki kemampuan. Apabila Anda katakan bahwa Imam Ali memiliki kemampuan namun beliau tidak memanfaatkannya maka hal ini merupakan sebuah pengkhianatan dan seorang pengkhianat tidak dapat menjadi seorang imam! Ia tidak dapat menjadi pemimpin yang dipercaya oleh masyarakat. Sementara Imam Ali As tidak mungkin berbuat khianat. Ia suci dari segala macam pengkhianatan. Lalu apa jawaban Anda atas keberatan ini? Apa Anda memiliki jawaban benar atas kritikan dan isykalan ini?

Pertama: Imam Ali As, sejumlah sahabatnya dan sebagian sahabat Rasulullah Saw pada mulanya tidak memberikan baiat kepada Abu Bakar dan tatkala memberikan baiat hal itu dilakukan semata-mata untuk menjaga Islam dan kemaslahatan pemerintahan Islam.

Kedua, seluruh problema yang ada tidak dapat diselesaikan dengan pedang dan keberanian. Tidak setiap saat otot dan kekuatan fisik harus digunakan. Manusia bijak dan cendekia memecahkan setiap persoalan dengan perantara media-media tertentu.

Ketiga, apabila Imam Ali As memberikan baiat kepada beberapa orang tertentu lantaran kemaslahatan yang bernilai seperti menjaga agama Tuhan dan segala jerih payah Rasulullah Saw maka hal itu tidak bermakna bahwa beliau lebih menguatirkan kekuasaan mereka ketimbang jiwanya atau mereka lebih memiliki kemampuan dan kekuasaan dalam masalah kepemimpinan dan leadership umat Islam.

Keempat, yang dapat disimpulkan dari sejarah dan tuturan Imam Ali bahwa beliau berulang kali menyampaikan protes terhadap situasi dan kondisi di masa tiga khalifah namun upaya maksimal beliau dikerahkan untuk menjaga dan menguatkan pemerintahan Islam di hadapan musuh-musuhnya.

Dengan menyimak sejarah masa awal-awal kemunculan Islam maka menjadi jelas bahwa Pertama, Rasulullah Saw belum lagi dikebumikan orang-orang berkumpul di Saqifah Bani Sa’idah dan sebagian orang memberikan baiat kepada orang selain Ali As sementara Ali As sedang sibuk mengurus pemakaman Rasulullah Saw, mengafani dan mengebumikan Rasulullah Saw.[1] Sebagaian kecil sahabat beserta pemuka kabilah seperti Abbas bin Abdul Muththalib, Fadhl bin Abbas, Zubair bin Awwam, Khalid bin Sa’id, Miqdad bin Amr, Salman Parsi, Abu Dzar Ghiffari, Ammar bin Yasir, Bara’a bin ‘Azib, Ubay bin Ka’ab tidak memberikan baiat kepada segelintir orang yang berkumpul di Saqifah dan berpihak pada Imam Ali As.[2] Sesuai dengan nukilan lugas dari Ahmad bin Hanbal dalam Musnad 1/55 dan Thabari 2/466 sebagian orang ini berkumpul di rumah Fatimah Zahra As dan menolak memberikan baiat kepada Abu Bakar.[3]

Disebutkan dalam kitab sejarah bahwa Baginda Ali As dalam menjawab mereka yang berkumpul di rumahnya dan permintaan mereka untuk memberikan baiat kepadanya, “Besok pagi datanglah (kemari) dan cukurlah rambut kalian!” Akan tetapi keesokan harinya hanya tiga orang yang datang.[4]

Demikian juga dalam sejarah diriwayatkan bahwa Ali As tidak memberikan baiat selama Fatimah Zahra masih hidup namun tatkala melihat orang-orang mengabaikannya maka beliau terpaksa berdamai dengan Abu Bakar.[5]

Karena itu, Imam Ali As dan sebagian sahabatnya demikian juga sebagian sahabat Rasulullah Saw mula-mula dan hingga masa tertentu pasca wafatnya Rasulullah Saw tidak memberikan baiat kepada Abu Bakar dan tatkala mereka memberikan baiat hal itu dilakukan untuk kemaslahatan dan keselamatan pemerintahan Islam.

Beladzuri dalam menjelaskan sebab mengapa Imam Ali memberikan baiat berkata, “Pasca wafatnya Rasulullah Saw dimana sebagian suku Arab telah murtad, Usman datang ke hadapan Ali dan berkata, “Wahai Putra Paman! Selama Anda tidak memberikan baiat tiada seorang pun yang akan pergi berperang melawan musuh.” Usman senantiasa membicarakan hal ini dengan Ali hingga pada akhirnya Baginda Ali As memberikan baiat kepada Abu Bakar.”[6] Akan tetapi Baginda Ali As sendiri senantiasa menyampaikan keluhan dan protes (terhadap proses perampasan khilafah ini) pada masa Abu Bakar dan setelahnya.

Terkait dengan hal ini, Imam Ali As bersabda, “Ketahuilah! Demi Allah putra Abu Quhafah (Abu Bakar) membusanai dirinya dengan (kekhalifahan) itu, padahal ia tahu pasti bahwa kedudukanku sehubungan dengan itu adalah sama dengan kedudukan poros pada penggiling. Air bah mengalir (menjauh) dariku dan burung tak dapat terbang sampai kepadaku. Aku memasang tabir terhadap kekhalifahan dan melepaskan diri darinya. Kemudian aku mulai berpikir, apakah aku harus menyerang ataukah menanggung dengan tenang kegelapan membutakan dan azab, dimana orang dewasa menjadi lemah dan orang muda menjadi tua, dan orang mukmin yang sesungguhnya hidup di bawah tekanan sampai ia menemui Allah (saat matinya). Aku dapati bahwa kesabaran atasnya lebih bijaksana. Maka aku mengambil kesabaran, walaupun ia menusuk di mata dan mencekik di kerongkongan.”[7]

Adapun terkait mengapa Imam Ali As dengan keberanian yang dimilikinya namun tidak angkat senjata? Maka jawabannya adalah bahwa seluruh problema yang terjadi tidak dapat diselesaikan dengan pedang dan perang. Tidak setiap saat otot dan kekerasan fisik harus digunakan. Manusia bijak dan cendekia memecahkan setiap persoalan dengan media-media tertentu. Memiliki kekuasaan dan kemampuan serta keberaninan di medan perang sekali-kali tidak dapat menjadi dalih untuk melakukan pelbagai perbuatan yang tidak mendatangkan kemasalahatan.

Sebagaimana Nabi Harun As tatkala melihat kaum Musa berpaling menjadi penyembah sapi meski beliau adalah seorang elokuen (fasih) dan merupakan washi (penyampai wasiat) Nabi Musa As akan tetapi beliau tidak melakukan apa pun kecuali menyampaikan kebenaran dan peringatan kepada mereka. Al-Qur’an menandaskan tuturan Harun sebagai jawaban dari protes keras Nabi Musa As atas sikapnya yang berdiam diri tidak mencegah penyembahan sapi Bani Israil, “Harun menjawab, “Hai putra ibuku, janganlah kamu pegang janggutku dan jangan (pula) kepalaku; sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan berkata (kepadaku), “Kamu telah memecah antara Bani Isra’il dan kamu tidak memelihara amanahku.” (Qs. Thaha [20]:94)

Ihwal Nabi Ibrahim, al-Qur’an memberitakan bahwa Nabi Ibrahim menjauhkan diri dari penyembah berhala, “Maka ketika Ibrahim sudah menjauhkan diri dari mereka” (Qs. Maryam [19]:49) Demikian juga terkait dengan tindakan para pemuda Ashabul Kahf yang menarik diri dari kaum zalim, “(Kami berkata kepada mereka), “Apabila kamu meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah, maka carilah tempat berlindung ke dalam gua itu, niscaya Tuhanmu akan melimpahkan rahmat-Nya kepadamu dan menghamparkan ketenangan bagimu dalam urusan kamu ini.” (Qs. Al-Kahf [18]:16) Apakah benar kita memandang mereka dalam proses toleransi dan menahan diri ini atau takut atau pengkhianat? Padahal dalam kondisi seperti ini jalan toleransi dan menahan diri merupakan jalan terbaik.

Apabila Imam Ali As memberikan baiat kepada sebagian orang karena kemaslahatan seperti menjaga agama Tuhan dan hasil kerja keras Rasulullah Saw hal ini tidak bermakna bahwa beliau takut dari kekuatan dan kekuasaan mereka atau lebih kurang kekuasaan dan kekuatannya dalam masalah kepemimpinan umat Islam dimana apabila kepemimpinan diserahkan kepadanya maka pada masa-masa tersebut kekuasaan kepemimpinannya dapat dibuktikan.

Baginda Ali As menjelaskan mengapa dirinya tidak angkat senjata. Hal itu disebabkan karena beliau sendiri, sebagaimana yang dijelaskan, “Saya melihat dan mendapatkan bahwa tidak ada pendukung bagi aku kecuali keluarga saya; maka aku hindarkan mereka dari terjerumus ke dalam kematian. Aku terus menutup mata saya walaupun kelilipan. Aku minum walaupun kerongkongan terteguk. Aku bersabar walaupun susah bernapas dan walaupun harus menelan jadam sebagai makanan.”[8]

Pada kesempatan lain, Baginda Ali menjelaskan alasannya mengapa tidak angkat senjata sedemikian, “Apabila aku katakan maka mereka akan menyebut aku serakah akan kekuasaan, tetapi apabila aku berdiam diri mereka akan mengatakan bahwa aku takut mati. Sungguh sayang, setelah segala pasang surut (yang saya alami)! Demi Allah, putra Abu Thalib lebih akrab dengan kematian daripada seorang bayi dengan dada ibunya. “[9]

Kesimpulannya bahwa alasan mengapa Baginda Ali As memberikan baiat kepada para khalifah hal itu bukan lantaran takut (karena semua orang, kawan dan lawan tahu tentang keberaniaan tiada tara yang dimiliki Baginda Ali As) melainkan kurangnya pendukung di jalan kebenaran dan juga didorong oleh kemaslahatan untuk menjaga kesatuan, keutuhan dan kemaslahatan Islam. Sebuah tindakan yang dilakukan oleh setiap pemimpin sejati bahkan Rasulullah Saw sendiri, dimana lantaran kurangnya pendukung dan untuk menjaga pendukung yang sedikit itu dan menjaga kemaslahatan Islam, terpaksa menarik diri dari kaumnya dan berhijrah ke Madinah hingga beliau mendapatkan banyak pengikut yang berujung pada peristiwa Fathu Makkah. Atau pada masa lainnya, Rasulullah Saw terpaksa memilih berdamai dengan orang-orang Musyrik. Apakah tindakan seperti ini dapat disebut sebagai tindakan pengecut bahwa apabila Rasulullah Saw memandang dirinya sebagai Rasululullah lantas mengapa berdamai dengan orang-orang musyrik? Dimana apabila beliau tidak memiliki kekuataan yang dapat menandingi lantas ia tidak memiliki kelayakan untuk menjabat sebagai seorang nabi dan pemimpin?!

Karena itu, Baginda Ali As, meski beliau adalah khalifah Rasulullah Saw, lebih memilih bersabar dan menahan diri. Hal itu didorong oleh keinginan yang luhur untuk menjaga kemaslahatan masyarakat Islam. Karena beliau dengan baik memahami bahwa bukan tempatnya untuk angkat senjata, menghunus pedang dan memamerkan keberanian dan adu otot di jalan Allah. Akan tetapi kondisi masyarakat Islam pasca wafatnya Rasulullah menuntut kesabaran lebih tinggi nilainya ketimbang keberanian. Beliau mengetahui bahwa dalam kondisi seperti ini bahwa menghunus pedang akan lebih banyak dimanfaatkan oleh musuh-musuh Islam untuk melenyapkan dan mencerabut Islam hingga ke akar-akarnya. Karena itu, kemaslahatan pribadi dikorbankan untuk kemaslahatan yang lebih penting yaitu asas Islam.


Catatan Kaki:

[1]. Kanz al-‘Ummâl, 5/652.

[2]. Suyuthi, Târikh al-Khulâfah, hal. 62, Dar al-Fikr, Libanon. Târikh Ya’qubi, 124/125-2. Thabari, Târikh al-Umam wa al-Muluk, jil. 2, hal. 443, Istiqamat, Kairo. Musnad Ahmad, jil. 3, hal. 165, Dar al-Shadir.

[3]. Ibid.

[4]. Ma’âlim al-Madrasatain, Allamah ‘Askari, jil. 1, hal. 162.

[5]. Thabari, Târikh al-Umam wa al-Muluk, 2/448, Istiqamat, Kairo.

[6]. Ansab al-Asyrâf, 1/587.

[7]. Nahj al-Balâgha, Khutbah 3, hal. 45.

[8]. Nahj al-Balâgha, Khutbah 36, hal. 73.

[9]. Nahj al-Balâgha, Khutbah 5, hal. 51

Rabu, 17 Oktober 2012

Perbedaan HTTP dan HTTPS

Informasi   sangat penting  buat yang sering2 blanja melalui internet

Perhatikan   perbedaan antara http dan https pada web yang kita kunjungi.
 
Banyak orang tidak  menyadari perbedaan antara:  http:// dan https: / /

 HTTP singkatan dari "Hypertext Transport Protocol",
adalah cara mengatakan bahwa itu adalah protokol (misalnya untuk informasi
ditransmisikan antara server Web dan klien.  

Yang penting    adalah huruf  .
HTTPSS (Surprise!) Singkatan dari "Secure (keamanan)". (Contoh: https: / / acces.desjardins.com /)

Jika mengunjungi situs web atau  
Halaman web, perhatikan dengan teliti alamat
pada browser Web:  dimulai dengan:   http://.  Ini berarti bahwa situs tersebut dalam komunikasi   dengan browser Anda menggunakan protocol,  tidak aman.

*Dengan kata lain, sangat mungkin bagi seseorang untuk melihat pada komputer kita  apa saja yg kita lakukan dengan website  tersebut.

Jika kita mengisi formulir di situs internet,  siapa pun bisa melihat semua informasi yang kita kirim ke situs ini Jadi berhati-hatilah jika memasukan nomor Kartu kredit atau pin

Tetapi jika alamat situs web dimulai dengan https: / /, ini berarti
bahwa komputer kita  berkomunikasi dengan situs web  yang lebih aman dan orang lain tidak dapat melihat apa yang kita lakukan     

 * Jika sebuah situs web meminta untuk memasukkan nomor kartu kredit atau
    informasi pada kartu , kita harus harus memeriksa alamat situs web diawali dengan  dengan https: / /. atau tidak.

    
Jika tidak, keamananya tidak dijamin.

sumber : http://groups.yahoo.com/group/jalan_bebas/message/9036

Kamis, 27 September 2012

IMAM ALI AR-RIDHA, TELADAN PEJUANG YANG SABAR

Hari Lahir

Imam Ali Ar-Ridha as lahir pada 11 Dzulqa’dah 148 H. di Madinah. Ayah beliau adalah Imam Musa Al-Kazim as dan ibunya seorang wanita mukmin nan saleh, bernama Najmah. Imam as menghabiskan masa kanak-kanaknya di sisi sang ayah.
Imam Musa as berwasiat dan memberi isyarat kepada sahabat-sahabatnya mengenai keimamahan putranya, Ali Ar-Ridha.
Ali bin Yaqthin berkata, “Pernah aku bersama Abdus Saleh (salah satu gelar Imam Musa Kazim—penj.). Tiba-tiba datang Ali Ar-Ridha as, lalu beliau (Imam Musa) berkata, “Wahai Ali bin Yaqthin, dialah penghulu anak-anakku.”
Hisyam menambahkan, “Sesungguhnya aku beritakan kepadamu bahwa dia adalah Imam setelahku.”
Demikian pula salah seorang sahabat pernah bertanya tentang imam sepeninggalnya. Imam Musa as memberi isyarat kepada anaknya, Ali Ar-Ridha sembari berkata, “Dialah Imam (pemimpin) setelahku.”
Pada masa itu, situasi amat menguatirkan, sehingga Imam Musa as berwasiat kepada para sahabatnya agar merahasiakan keimamahan putranya itu.

Budi Pekerti Yang Agung

Para Imam Ahlulbait as adalah manusia-manusia pilihan. Mereka dipilih oleh Allah SWT untuk membimbing masyarakat secara benar dan menjadi contoh yang paling unggul untuk mencapai derajat kemanusiaan dan akhlak mulia.
Ibrahim bin Abbas mengatakan, “Aku tidak pernah mendengar Abul Hasan Ar-Ridha as mengatakan sesuatu yang merusak kehormatan seseorang, juga tidak pernah memotong pembicaraan seseorang hingga ia menuntaskannya, dan tidak pernah menolak permintaan seseorang tatkala dia mampu membantunya. Beliau tidak pernah menjulurkan kakinya ke tengah majelis. Aku tidak pernah melihatnya meludah, tidak pernah terbahak-bahak ketika tertawa, karena tawanya adalah senyum. Di waktu-waktu senggang, beliau menghamparkan suprah dan duduk bersama para pembantu, mulai dari penjaga pintu sampai pejabat pemerintahan. Dan barang siapa yang mengaku pernah melihat keluhuran budi pekerti seseorang seperti beliau, maka janganlah kau percaya.”
Seorang laki-laki menyertai Imam Ar-Ridha dalam perjalanannya ke Khurasan. Imam mengajaknya duduk dalam sebuah jamuan makan. Beliau mengumpulkan para tuan dan budak untuk menyiapkan makanan dan duduk bersama. Orang itu lalu berkata, “Wahai putra Rasulullah, apakah engkau mengumpulkan mereka dalam satu jamuan makan?”
“Sesungguhnya Allah SWT adalah satu. Manusia lahir dari satu bapak dan satu ibu. Mereka berbeda-beda dalam amal perbuatan”, demikian jawab Imam as.
Salah seorang dari mereka berkata, “Demi Allah, tidak ada yang lebih mulia di muka bumi ini selain engkau, wahai Abul Hasan (panggilan Imam Ar-Ridha)!”
Imam menjawab, “Ketakwaanlah yang memuliakan mereka, wahai saudaraku!”
Salah seorang bersumpah dan berkata, “Demi Allah, engkau adalah sebaik-baik manusia.”
Imam menjawabnya, “Janganlah engkau bersumpah seperti itu. Sebab orang yang lebih baik dari aku adalah yang lebih bertakwa kepada Allah. Demi Allah, Dzat yang menorehkan ayat ini, ‘Kami ciptakan kalian bersuku-suku dan berbangsa-bangsa untuk saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu adalah orang yang paling bertakwa.’
Pernah suatu saat, Imam Ali Ar-Ridha as berbincang-bincang dengan masyarakat. Mereka bertanya tentang masalah-masalah hukum. Tiba-tiba seorang warga Khurasan masuk dan berkata, “Salam atasmu wahai putra Rasulullah! Aku adalah seorang pengagummu dan pecinta ayahmu serta para datukmu. Aku baru saja kembali dari haji dan aku kehilangan nafkah hidupku. Tak satu harta pun tersisa lagi padaku. Jika engkau sudi membantuku sampai di negeriku, sungguh nikmat besar Allah atasku, dan bila aku telah sampai, aku akan menginfakkan jumlah uang yang kau berikan kepadaku atas namamu, karena aku tidak berhak menerima infak.”
Dengan nada lembut, Imam Ar-Ridha as berkata kepadanya, “Duduklah, semoga Allah mengasihanimu!”
Kemudian Imam melanjutkan perbincangannya dengan masyarakat sampai mereka bubar. Setelah itu, Imam bangkit dari duduknya dan masuk ke kamar. Tak lama kemudian, beliau mengeluarkan tangannya dari balik pintu sambil berkata, “Mana orang Khurasan itu?”
Orang Khurasan itu mendekat dan Imam berkata, “Ini 200 Dinar. Pergunakanlah untuk perjalananmu dan janganlah engkau menafkahkan hartamu atas nama kami.”
Orang Khurasan itu mengambilnya dengan penuh rasa syukur, lalu meninggalkan Imam as.
Setelah itu Imam keluar dari kamar. Salah seorang sahabat bertanya, “Kenapa engkau menyembunyikan wajahmu dari balik pintu, wahai putra Rasulullah?”
Imam berkata, “Agar aku tidak melihat kehinaan pada raut wajah orang yang meminta. Tidakkah kau mendengar Rasulullah saw bersabda, ‘Berbuat baik dengan sembunyi-sembunyi adalah sama seperti tujuh puluh kali ibadah haji, dan orang yang terang-terangan dalam berbuat jahat sungguh terhina, dan orang yang sembunyi dalam melakukannya akan diampuni.’”

Jangan Merasa Bangga!

Ahmad Al-Bazanthi adalah salah seorang ulama terkemuka dan seringkali melakukan surat-menyurat dengan Imam Ali Ar-Ridha. Kemudian, ia mengakui kebenaran kedudukan beliau sebagai imam.
Al-Bazanthi pernah menceritakan pengalamannya berikut ini:
“Imam Ar-Ridha as memintaku datang menjumpainya dan mengirimkan keledai kepadaku sebagai kendaraan. Sesampainya di sana, kami duduk dalam sebuah pembahasan. Hingga tiba waktu Isya’, kami melaksanakan shalat. Seusai shalat, Imam meminta kepadaku untuk bermalam. Aku menjawab, ‘Tidak demi jiwaku yang menjadi tebusanmu, aku tidak membawa mantel (selimut) dan pakaian.’
Beliau berkata kepadaku, ‘Allah akan melewatkan malammu dalam keadaaan sehat dan kami akan tidur di atap rumah.’
Sementara Imam turun, aku berkata pada diriku sendiri, ‘Sungguh aku telah mendapatkan kemulian dari Imam yang aku tidak temukan pada orang lain. Aku telah tertipu oleh setan.’
Di waktu subuh, Imam membangunkanku sambil memegang tanganku. Kepadaku beliau menuturkan, ‘Suatu hari, Amirul Mukminin Ali as menengok Sha’sa’ah bin Sauhan yang tengah sakit. Ketika dia hendak bangun, Amirul Mukminin berkata kepadanya, ‘Wahai Sha’sa’ah, janganlah engkau merasa bangga terhadap saudara-saudaramu hanya karena aku menjengukmu.’
Seakan-akan Imam membaca apa yang terlintas dalam benak Al-Bazanthi. Beliau menasehatinya dan mengingatkan kakeknya, Imam Ali bin Ali Thalib as bagaimana menjenguk salah seorang sahabatnya.

Nasihat untuk Saudara

Zaid adalah saudara Imam Ali Ar-Ridha as. Dia melakukan pemberontakan di kota Bashrah dan membakari rumah orang-orang Abbasiyah, sehingga dia digelari dengan Sang Api.
Khalifah Ma’mun segera mengirim pasukan besar dan terjadilah pertempuran sengit. Di sana, Zaid menyerah dan meminta damai. Namun, akhirnya ia tertangkap dan dipenjara.
Tatkala Imam Ali Ar-Ridha as diangkat oleh Ma’mun sebagai pengganti khalifah, Ma’mun memutuskan untuk mengirimkan Zaid kepada Imam. Imam as sangat marah atas perbuatan saudaranya yang membakar rumah dan merampas harta benda rakyat tanpa hak.
Kepada saudaranya Imam as berkata, “Hai Zaid, apa yang membuat engkau tertipu hingga engkau menumpahkan darah dan merampok? Apakah kau tertipu oleh perkataan orang-orang Kufah, bahwa Fatimah as telah disucikan rahimnya sehingga Allah mengharamkan anak keturunannya dari api neraka? Celakalah engkau! Sesungguhnya yang dimaksudkan Rasul saw dari sabda itu bukanlah aku, bukan pula kau. Akan tetapi, Hasan dan Husain. Demi Allah, sesungguhnya keselamatan dari api neraka itu tidak akan didapati kecuali dengan ketaatan kepada Allah SWT. Apakah kau mengira akan masuk surga dengan tetap bermaksiat kepada Allah? Kalau begitu, kau lebih besar daripada Allah dan dari ayahmu, Musa bin Ja’far as!”
Zaid berkata,”Bukankah aku saudaramu?”
Imam menjawab, “Ya, kau adalah saudaraku selama kau taat kepada Allah. Bagaimana Nabi Nuh as memohon, ‘Tuhanku, sesungguhnya anakku dari keluargaku dan janjimu pasti nyata dan engkau maha pengasih.’ Dan bagaimana Allah membalasnya, ‘Wahai Nuh! Sesungguhnya dia bukanlah dari keluargamu, karena dia bukan perbuatan saleh.’ Demi Allah, wahai Zaid! Tidak seorang pun akan mendapatkan kedudukan di sisi Allah kecuali ketaatan kepada-Nya.”

Di Majelis Ma’mun

Ma’mun mengumpulkan para pemuka agama dan tokoh-tokoh mazhab Islam, lalu memerintahkan mereka untuk berdiskusi dengan Imam Ali Ar-Ridha as. Ma’mun melakukan itu hanya untuk menjatuhkan Imam di hadapan soal-soal mereka.
Imam as bertanya kepada seorang sahabatnya yang bermana Hassan Naufal, “Apakah engkau tahu mengapa Ma’mun mengumpulkan para pemuka agama dan tokoh mazhab itu?”
Naufal menjawab, “Dia ingin sekali mengujimu.”
Imam berkata, “Senangkah engkau melihat saat-saat Ma’mun menyesali perbuatannya?.”
“Tentu”, jawab Naufal.
Imam berkata, “Yaitu tatkala dia mendengar jawabanku dari kitab Taurat terhadap penganut Taurat, jawabanku dari kitab Injil tehadap penganut Injil, jawabanku dari kitab Zabur terhadap penganut Zabur, dan jawabanku dari kitab Ibraniyyah terhadap kaum Sabiah.”
Imam Ali Ar-Ridha as menyiapkan perjalanannya bersama sahabatnya ke istana Khalifah. Setelah sampai dan istirahat sejenak, diskusi pun dimulai.
Jatsliq berkata, “Saya tidak ingin berdiskusi dengan orang yang menggunakan Al-Qur’an sebagai dalilnya, karena aku mengingkarinya, dan juga orang yang menggunakan hadis Nabi Muhammad, karena aku tidak mempercayai kenabiannya.”
Imam Ar-Ridha as berkata, “Jika aku berdalil dengan kitab Injil, apakah engkau akan beriman?”
“Tentu, saya akan menerimanya”, begitu tegas Jatsliq.
Lalu Imam Ali Ar-Ridha as membacakan beberapa ayat Injil yang di dalamnya Nabi Isa as mengabarkan kedatangan nabi setelahnya, sebagaimana yang juga diberitakan oleh Hawariyyun (sabahat setia Nabi Isa). Imam juga membacakan sebagian ayat dari Injil Yohanes.
Jatsliq dengan penuh keheranan berkata, “Demi kebenaran Isa Al-Masih, aku tidak pernah menyangka bahwa di antara ulama muslim ada orang sepertimu.”
Kemudian Imam Ali Ar-Ridha berpaling kepada pemuka Yahudi dan berdalil dengan ayat-ayat Taurat dan Zabur.
Tak ketinggalan pula, Imran Ash-Shabi yang ahli dalam ilmu Kalam. Dia bertanya kepada Imam tentang keesaan Tuhan dan masalah-masalah Kalam lainnya.
Ketika masuk waktu Zhuhur, Imam as bangkit untuk melaksanakan shalat. Setelah itu, beliau melanjutkan diskusi dengan Imran sampai dia mengakui kebenaran agama Allah yang hak. Lalu dia menghadap Kiblat dan bersujud kepada Allah untuk menyatakan keislamannya.

Perjalanan ke Marv

Tak seorang pun tahu alasan sebenarnya yang mendorong Khalifah Ma’mun untuk meminta Imam Ali Ar-Ridha as menjadi penggantinya kelak.
Ketika Imam as tinggal di Madinah Al-Munawwarah, tiba-tiba datang perintah Khalifah kepada beliau untuk melakukan perjalanan ke Marv.
Imam as menyiapkan perjalanannya ke Khurasan. Beliau tiba di kota Bashrah, lalu bertolak menuju Baghdad, kemudian singgah di kota Qom yang mendapatkan sambutan begitu hangat dari masyarakat di sana. Kala itu, Imam menjadi tamu salah seorang penduduk, dan semenjak hari itu ditetapkanlah hari berdirinya “Madrasah Ar-Ridhawiyyah.”

Di Naisyabur

Naisyabur merupakan salah satu kota tua dan pusat ilmu pengetahuan, lalu runtuh dan hancur ketika penyerangan bangsa Mongol.
Iring-iringan kafilah Imam Ali Ar-Ridha as dijemput oleh masyarakat di sana dengan penuh suka cita, sementara ratusan ulama dan pelajar berdiri paling depan.
Para ulama dan ahli hadis berkumpul di sekitar para pengiring Imam, sedang di tangan mereka buku dan alat menulis. Mereka menunggu Imam meriwayatkan hadis-hadis dari kakeknya Rasulullah saw, sampai-sampai di antara mereka ada yang memegang tali kekang tunggangan Imam dan berkata, “Demi kebenaran ayahmu yang suci, riwayatkanlah kepada kami hadis sehingga kami dapat mendapatkan ilmu darimu.”
Imam as berkata, “Aku mendengar ayahku Musa bin Ja’far berkat, ‘Aku mendengar Ayahku, Ja’far bin Muhammad berkata, ‘Aku mendengar ayahku Muhammad bin Ali berkata, ‘Aku mendengar ayahku Ali bin Husain berkata, ‘Aku mendengar ayahku Husain bin Ali berkata, ‘Aku mendengar ayahku Ali bin Abi Thalib berkata, ‘Aku mendengar Rasulullah saw bersabda, ‘Aku mendengar Jibril berkata, ‘Aku mendengar Allah berfirman, “Kalimat La Ilaha illallah adalah bentengku. Barang siapa masuk ke dalam bentengku, niscaya ia terbebas dari azabku.’”
Hadis ini terkenal dengan Hadis Silsilah Dzahabiyah (Untaian Emas). Sebanyak dua ribu perawi mencatat hadis ini.
Imam Ali Ar-Ridha as meninggalkan Naisyabur pada waktu pagi. Di tengah perjalanan masuk waktu Zhuhur, Imam as meminta air untuk berwudhu. Akan tetapi, para pengikutnya sulit mendapatkan air.
Imam menggali tanah. Tiba-tiba muncul mata air. Beliau berwudhu bersama orang-orang yang menyertainya. Hingga sekarang ini, mata air itu masih mengalir.
Imam Ar-Ridha as dan rombongan tiba di Sina Abad dan beliau menyandarkan punggungnya ke salah satu batu besar di gunung itu. Masyarakat di sana adalah pengrajin kuali dan periuk untuk keperluan masak. Imam memohon kepada Allah untuk memberkahi mereka dan meminta untuk dibuatkan periuk.
Imam as masuk ke rumah Hamid bin Qahthabah Ath-Tha’i dan masuk ke qubah yang di dalamnya terdapat kuburan Harun Ar-Rasyid. Di samping kuburan itu, beliau menuliskan sesuatu lalu berkata, “Ini adalah tanahku, dan di sinilah aku akan dikuburkan. Allah akan menjadikannya tempat ziarah bagi pengikutku. Demi Allah, barangsiapa yang menziarahiku, maka wajib baginya ampunan dan rahmat Allah melalui syafaat kami Ahlulbait.”
Kemudian, beliau melakukan shalat dua rakaat dan sujud yang lama sambil bertasbih sebanyak lima ratus kali.

Di Marv

Sampailah Imam Ali Ar-Ridha as di Marv. Ma’mun berusaha menampakkan rasa hormat dengan cara menyambut beliau dan mengadakan pesta penyambutan. Dia mengharapkan Imam supaya sudi menduduki kursi khalifah. Akan tetapi, beliau menolaknya.
Imam Ali Ar-Ridha as tahu benar akan maksud yang disembunyikan oleh Ma’mun. Dia telah membunuh saudaranya sendiri, Muhammad Amin, lantaran haus kekuasan dan kekhalifahan. Lalu, bagaimana mungkin dia mau turun tahta?
Ma’mun berusaha menarik simpati masyarakat dengan menampakkan kecintaannya kepada Ahlulbait. Dia menetapkan kewajiban menaati Imam sebagai calon penggantinya, walaupun dengan cara-cara paksa.
Di hadapan permintaan Ma’mun yang penuh dengan pemaksaan dan bahkan ancaman itu, akhirnya Imam Ridha as menerima untuk dijadikan penggantinya kelak dengan syarat, bahwa beliau tidak ikut campur dalam urusan-urusan pemerintahan.
Segera kepingan-kepingan uang dicetak dengan nama Imam, dan Ma’mun membiarkan masyarakat memakai pakaian hitam sebagai lambang orang-orang Abbasiyah, dan memakai pakaian hijau sebagai lambang orang-orang Alawiyah (keturunan Imam Ali bin Abi Thalib as).
Lebih dari itu, Ma’mun bahkan menikahkan anak perempuannya dengan Imam Ar-Ridha as dan menikahkan anak perempuannya yang lain dengan putra beliau, yaitu Muhammad Al-Jawad as.

Shalat Hari Raya

Imam Ali Ar-Ridha as dibaiat sebagai calon pengganti Khalifah pada 5 Ramadhan 201. Setelah 25 hari, tibalah hari pertama dari bulan Syawal, yaitu Hari Raya Idul Fitri. Satu hari sebelumnya, Ma’mun memerintahkan Imam Ar-Ridha as untuk menjadi imam shalat hari raya Idul Fitri.
Imam merasa keberatan. Tetapi Ma’mun bersikeras pada keputusannya, dan mengirim utusan untuk memata-matai gerak-gerik beliau.
Imam as menerima dengan satu syarat, yaitu melakukan shalat hari raya sesuai dengan ajaran Rasulullah saw dan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as.
Ma’mun menyetujui syarat itu dan memerintahkan tentaranya untuk bersiap-siap menjemput Imam esok pagi.
Masyarakat berkerumun di jalan-jalan dan di atap-atap rumah, sementara pasukan berbaris sambil menunggu Imam as keluar.
Matahari terbit menampakkan garis kemilauan emas dan menyelimuti bumi dengan panas dan cahayanya.
Imam Ali Ar-Ridha as mandi dan memakai pakaian dan serban putih sambil membiarkan salah satu ujungnya jatuh di depan dadanya dan ujung lainnya terurai di antara kedua bahunya. Beliau memakai wewangian dan memegang tongkat. Beliau memerintahkan orang-orang terdekatnya serta para pembantunya untuk melakukan hal yang sama. Dan, Imam pun keluar bersama mereka tanpa alas kaki.
Beberapa langkah kemudian, Imam Ar-Ridha as mengangkat suaranya sambil mengumandangkan takbir; Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar. Imam muncul dari dalam rumah, sedangkan pasukan istana serta komandannya melihat Imam bersama kelompok besar berjalan di samping kuda-kuda mereka. Mereka pun hanyut dan segera turun dari kuda, lalu melepaskan sepatu-sepatu mereka dan ikut berjalan mengiringi Imam as dengan kaki telanjang.
Imam bertakbir di pintu gerbang. Masyarakat juga ikut bertakbir sehingga gema takbir membahana ke seluruh penjuru kota. Mereka keluar dari rumahnya masing-masing dan tumpah-ruah ke jalan-jalan.
Berkali-kali masyarakat menghadiri shalat hari raya yang dilaksanakan dengan penuh kemegahan dan kemewahan yang jauh dari dari makna takbir. Kali ini mereka menyaksikan hari raya besar yang penuh dengan semangat Islam yang dibawa oleh Nabi saw dan kini dihidupkan kembali oleh cucunya, Imam Ali Ar-Ridha as.
Mata-mata yang mengintai gerakan Imam dan masyarakat segera melaporkan hasil pengawasannya kepada Ma’mun. Dia malah kuatir terhadap dampak yang akan muncul apabila Imam melanjutkan perjalanannya untuk melaksanakan shalat hari raya dan menyampaikan khutbah.
Ma’mun segera mengutus seseorang untuk menemui Imam Ar-Ridha as yang masih dalam perjalanan. Kepada beliau, ia menyampaikan pesan secara lisan, “Sungguh kami telah membuatmu kepayahan, wahai putra Rasulullah. Kami senang bila Anda istirahat. Untuk itu, kembalilah!”
Imam as kembali, sementara masyarakat bertanya-tanya. Sungguh mereka telah terpesona oleh sosok beliau yang mengingatkan mereka akan kerendahan hati ayah dan kakeknya.

Tujuan Ma’mun

Tak seorang pun yang mengingkari kelicikan dan muslihat Ma’mun dalam berpolitik, sebagaimana yang dia lakukan di balik penetapannya atas Imam Ali Ar-Ridha as sebagai pengganti kekhalifahannya. Tentu, ada maksud-maksud tertentu yang disembunyikan Ma’mun, di di antaranya:
1. Mengharapkan dukungan orang-orang Alawiyah yang ingin membalas dendam kepada pemerintahan Abbasiyah dan bertekad melakukan berbagai pemberontakan dan kerusuhan, yaitu dengan mengangkat Imam as sebagai penganti kekhalifahannya kelak dan mengganti pakaian hitam dengan pakaian hijau.
2. Merangkul orang-orang Alawiyah dengan cara melibatkan mereka dalam pemerintahan agar masyarakat mengetahui, bahwa pemberontakan yang mereka lakukan hanya karena ingin kekuasaan dan kesenangan, bahwa mereka tidak ingin menegakkan keadilan, tetapi tujuan mereka adalah untuk memperoleh harta kekayaan.
3. Ma’mun berusaha mengumpulkan tokoh-tokoh Alawiyah di ibu kota negara lalu melakukan penangkapan atas mereka, satu persatu, seperti yang terjadi pada Imam Ar-Ridha as.
Tentunya, Imam as mengetahui seluruh tipu-daya Ma’mun dan berusaha menggagalkannya dalam banyak kesempatan dan sikap beliau, seperti dalam diskusi dengan para pemuka agama, salat haru raya, dan syarat beliau atas Ma’mun agar tidak ikut campur dalam urusan negara dan politik.

Di’bil Al-Khuza’i

Pada masa itu, syair mendapat perhatian khusus dan penghargaan yang tinggi. Syair juga biasa ditempatkan pada surat-surat kabar untuk menyebarluaskan berita, seruan, ataupun maksud-maksud politik. Penguasa memberi dukungan dan imbalan yang besar untuk mengukuhkan pemerintahan mereka.
Sebagian penyair menolak bujukan pemerintah dan tetap teguh dalam mempertahankan kebenaran, sekalipun dalam keadaan serbakurang dan tertindas, sebagaimana yang dilakukan oleh pujangga Di’bil Al-Khuza’i.
Sejarah mencatat pertemuan Di’bil dengan Imam Ali Ar-Ridha. Abu Shalt Al-Hirawi meriwayatkan, “Di’bil menjumpai Imam Ar-Ridha as di Marv dan berkata, ‘Wahai putra Rasulullah, aku telah membuat syair dan aku berjanji kepada diriku sendiri untuk tidak membacakan kepada seseorang sebelum engkau mendengarkannya.’
Imam as menyambutnya dan mengucapkan banyak terima kasih, lalu mempersilahkan untuk menyenandungkannya. Di antara bait-bait syair Di’bil ialah:
Kediaman-kediaman manusia suci
kini telah sunyi dari pengunjung.
Rumah wahyu tidak lagi
dituruni kabar-kabar langit.
Pusara di Kufah dan
yang lainnya di Thaibah (Baqi’),
pula yang di Fakh
senantiasa tercurah salawatku.
Dan pusara di Baghdad,
milik jiwa yang suci
Tercurahkan rahmat Sang Pengasih
dalam ruang-ruang kedamaian.
Imam lalu menyambutnya,
Pusara di Thus betapa besar
Dera nestapa yang menimpanya.
Di’bil dengan penuh keheranan bertanya, ‘Aku tidak pernah tahu, siapakah pemilik pusara itu?’
‘Itulah pusaraku, wahai Di’bil,” jawab Imam as.
Sang penyair melanjutkan senandung syairnya yang menyisipkan penderitaan dan musibah yang terus menerus menimpa Ahlulbait. Imam as menangis, dan air matanya berderai menghangatkan pipinya.
Imam memberikan 100 Dinar sebagai hadiah kepada Di’bil. Namun, ia merasa berat menerimanya, dan meminta dari beliau sehelai kain untuk mendapatkan berkah darinya. Imam menghadiahkan jubah dari bulu yang ditenun sebagai tambahan dari uang 100 Dinar.
Di’bil memohon diri. Dalam perjalanan pulang, ia dan kafilahnya dihadang oleh segerombolan perampok. Seluruh harta benda mereka dirampas. Sambil duduk membagi hasil rampasan, salah seorang perampok melantunkan satu bait puisi:
Aku melihat mereka membagi-bagi harta rampasan.
Di tangan mereka harta rampasan dari emas.
Mendengar bait itu, Di’bil bertanya kepada perampok tersebut, “Siapa yang membuat puisi tadi?”
“Ini puisi Di’bil”, jawabnya.
“Akulah Di’bil”, kata Di’bil memperkenalkan diri.
Para perampok itu pun segera mengembalikan harta-harta kafilah yang bersamanya dengan penuh hormat, serta meminta maaf kepada mereka.
Di’bil dan kafilahnya melanjutkan perjalanan sampai di kota Qom. Di sana, sebagian masyarakat berebut ingin menukar baju Imam dengan seribu Dinar, namun Di’bil menolaknya. Di tengah itu, datanglah sekelompok pemuda dari luar kota Qom menginginkan sepotong (secarik) dari pakaian Imam untuk mengambil berkah dengan imbalan 1000 Dinar. Maka, Di’bil pun merelakannya.
Ketika sampai di rumahnya, Di’bil mendapati istrinya menderita sakit di bagian matanya. Ia memeriksakannya, kepada satu tabib ke tabib yang lain. Tapi, mereka semua mengatakan, “Sudah tidak ada gunanya kamu mengobatinya, karena istrimu akan menderita kebutaan.”
Di’bil merasa sedih sekali. Tiba-tiba ia teringat potongan baju Imam. Kemudian dia melilitkannya di mata sang istri dari awal malam hingga esok harinya. Tatkala istri Di’bil terjaga, ia tidak merasakan sakit sedikit pun berkat keramat Imam Ali Ar-Ridha as.

Hari Kesyahidan

Setelah Ma’mun merasa jenuh dan putus asa membujuk Imam Ali Ar-Ridha as dengan kekuasaan, sementara beliau tetap teguh dan bersih dari kepentingan dunia, Ma’mun senantiasa mencari-cari kesempatan untuk membunuh beliau.
Di Baghdad, orang-orang Abbasiyah mengumumkan pembangkangannya. Lalu mereka membaiat orang-orang kaya sebagai khalifah pengganti Ma’mun, karena kuatir akan berpindahnya kekuasaan dan kekhalifahan ke tangan orang-orang Alawiyah.
Untuk menarik simpati mereka di Baghdad dan tetap mengakuinya sebagai khalifah, Ma’mun merencanakan pembunuhan terhadap Imam. Dia bubuhkan racun ganas di dalam anggur.
Imam as meninggal karena racun itu dan kembali ke haribaan Allah dalam keadaan syahid dan teraniaya.
Imam Ali Ar-Ridha as syahid pada tahun 203 H. dan dimakamkan di kota Thus (Masyhad, Iran).
Sementara itu, Ma’mun menampakkan dirinya sedih di hadapan masyarakat dengan tujuan menepis kecurigaan dan tuduhan mereka terhadapnya. Dia pun ikut serta mengantarkan jenazah suci Imam as dan berjalan tanpa alas kaki sambil menangis.

Mutiara Hadis Imam Ali Ar-Ridha

• “Barang siapa yang tidak berterima kasih kepada orang tuanya, maka dia tidak bersyukur kepada Allah SWT.”
• “Barang siapa yang selalu mengawasi dirinya, niscaya akan beruntung, dan barang siapa melalaikannya, pasti akan merugi.”
• “Sebaik-baik akal adalah kesadaran seseorang akan dirinya sendiri.”
• “Bila seorang mukmin marah, maka kemarahannya tidak akan mengeluarkan dirinya dari bersikap benar. Dan jika ia senang, maka kesenangannya tidak akan menghanyutkannya ke dalam kebatilan. Dan jika ia punya kekuatan, ia tidak akan merebut lebih dari haknya.”
• “Sesungguhnya Allah membenci orang-orang yang menceritakan kejelekan orang dan orang yang mendengarkannya serta orang yang banyak bertanya.”

Riwayat Singkat Imam Ali Ar-Ridha

Nama        : Ali.
Gelar        : Ridha.
Panggilan : Abu Hasan.
Ayah         : Musa Al-Kazhim as.
Ibu            : Najmah.
Kelahiran : Madinah, 11 Dzulqa’dah 148 H.
Wafat       : 203 H.
Makam    : Thus, Masyhad-Iran.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons